Bekerja

Setelah ngobrol dengan teman tentang kegiatan komunitas yang akan datang, aku bilang akan ke tempat milik temanku yang berwirausaha. "Aku mau kesana dulu," kataku dalam bahasa Jawa. "Ya sudah, ayo kesana sekalian," Ucap salah seorang diantara kami.

Memang sudah sejak lama aku tidak ke kota. Beda sekali dengan dulu, saat bekerja yang titik kumpulnya di kota. 

Beberapa waktu kemudian, aku tiba disana. Aku datang belakangan setelah mengambil jaket dan helm dari kontrakan yang digunakan untuk kantor oleh senior dari organisasi mahasiswa. Sampai ditempat usaha temanku, beberapa pesanan yang dipesan sudah habis disantap oleh yang lain, tinggal bagianku yang segera dipersiapkan.

Setelah menyelesaikan makan, beberapa teman lainnya sudah "geser" bahasa jaman sekarang. Artinya bisa pulang atau pindah lokasi. Yang jelas pindah tempat. Sedang aku dengan satu teman lainnya masih disana, santai sambil ngobrol karena memang juga sudah lama aku tidak melihat hiruk pikuk di kota.

Temanku yang punya usaha datang. "Info loker, Dhen!," katanya sambil menempati bangku dan duduk.  "aku yo gak mergawe je," sahutku. Memang aku sedang tidak bekerja kali ini.

Setelah ngobrol beberapa saat, aku tahu kalau dia ingin merasakan bagaimana kerja menjadi karyawan. Kalau ungkapan jawanya "melok uwong". 

Yang aku tahu, setelah kuliah dia menikah dan memulai usaha. Dulunya memang tidak di kota, tapi di dekat rumahnya sana, atau di dekat rumah mertuanya, aku tidak tau.

"Lha usahamu yang di sana sebelumnya masih buka?," tanyaku dalam bahasa Jawa.

Dia menimpali, "sudah tidak, pindah disini". Setelah beberapa waktu obrolan, dia menjelaskan ditempat sebelumnya ramai kalau musim panen (dan olah sepertinya) tembakau. Sedangkan untuk panan butuh waktu beberapa bulan. Kalau di kota, orang untuk beli kan tidak harus panen dulu.

Aku kembali menanyakan terkait perbandingan pendapatan jika berwirausaha dan kalau ikut kerja dengan orang. Aku memberi gambaran sedikit sebelumnya kisaran gajinya, bayaran kuli proyek.

Katanya hampir sama. Cuma memang dia belum pernah menjadi karyawan. Hal itu berbanding denganku yang selalu menjadi karyawan dan menikmati gaji bulanan tanpa perlu memikirkan strategi yang rumit. 

Sebelumnya aku selalu kagum dengan orang yang membuka usaha sendiri. Sebelumnya temanku SMP yang membuka warung kopi dan tidak pernah bekerja lama diluar kota, hanya di lingkup desa-desa, hingga ajeg di warung kopi sampai saat ini. Satunya temanku yang satu ini, lulusan sarjana namun juga mempunyai usaha. Hal-hal semacam ini aku temui setelah keluar dari pekerjaanku sebelumnya, aku bertemu dengan berbagi jenis orang.

Ternyata pikiranku yang ingin punya usaha juga tidak sama dengan pikiran temanku yang sudah berwirausaha. Aku ingin punya usaha, sedangkan temanku ingin menjadi karyawan/pekerja.

Rasanya pepatah jawa yang dikatakan orang-orang, "Sawang sinawang" memang benar . Namun sekarang aku punya alasan terkait pepatah itu.

Dia sudah punya istri, punya anak yang masih kecil, belum sekolah. Sedangkan di rumah tidak bekerja seperti. 

Katanya "Kalau ingin kaya itu mudah, tapi harus ada yang di korbankan".

Aku tidak paham. "Maksudnya bagaimana," tanyaku!. 

"Misalkan kamu kerja, istrimu juga kerja maka kamu harus mengorbankan anak. Anak harus dititipkan kepada orang tua," jelasnya padaku.

"Wah, aku belum sampai tahap sana. Aku belum menikah soalnya," kataku.

Memang ada yang pernah berkata padaku, dia ingin usaha percetakan dan semacamnya. Aku memang punya sedikit kemampuan terkait komputer dalam bidang editing yang umum dilakukan percetakan. Bukan percetakan skala besar, hanya sedikit pengetahuan yang aku dapat dari pengalaman di kantor dulu. Kantorku dulu juga bukan kantor percetakan.

Cuma sekarang orangnya (yang punya ide membuat percetakan itu) entah kemana.

"Nikah itu mudah Dhen," ungkapnya padaku!

"Maksudnya?," tanyaku penasaran.

"Calon mertua tidak mungkin bertanya tentang pekerjaan. Nanti juga akan dapat pekerjaan seiring berjalannya waktu. Tapi setelah beberapa lama, mertua baru akan bilang, kok kerjanya begini ya!"

Mungkin karena ini, dia ingin menjadi karyawan. Lalu dia bertanya "Usaha seperti apa yang kamu anggap berhasil?".

"Yang mendapatkan untung, bisa buat makan setiap hari paling tidak," jawabku ngawur. Karena aku belum pernah berwirausaha sebagai pekerjaan utama.

"Usaha yang bisa dikerjakan oleh perempuan (istri). Dirumah, sambil usaha (jualan) dia masih masih bisa mengurus anak," dia menjelaskan maksudnya. Lalu aku bercerita tentang perempuan yang punya ide percetakan tadi.

Ada banyak hal yang diobrolkan, mulai dari program pemerintah, problem di desa desa, beberapa ide side hustle (pekerjaan sampingan) dan fenomena yang terjadi saat ini dengan manusia, di era teknologi ini.

Waktu sudah hampir pukul 22.00 W.I.B temanku yang satunya tadi juga sudah geser dari tadi, mau ke warung kopi, base camp orang-orang di daerah sekitar wialayahnya katanya. Aku juga harus geser karena malam juga sudah larut. Dia masih disana sampai tengah malam, menunggu pembeli, entah offline ataupun dari aplikasi pesan antar yang sudah tidak asing di era saat ini.

"Hidup sawang sinawang" memang benar adanya. Namun aku mengetahui salah satu alasan dari pepatah kata itu saat ngobrol kali ini. 

Aku, seorang yang masih nganggur ini, menghendaki perempuan yang bisa ku bilang lebih dari berkecukupan dengan beberapa kesibukannya. Jika dia mengizinkan aku datang menemui ibunya, apakah orang tuanya juga akan berkata seperti mertua temanku itu, "tidak masalah tidak bekerja". Atau ada kemungkinan lain? 

Sedangkan pesanku hari ini juga belum terbalas. Mengapa aku harus mengejar sesuatu yang sulit seperti ini, kenapa aku tidak bisa seperti yang lain. Rasanya mereka lebih mudah mencari pendamping hidup dengan segala risikonya.

Padahal sudah aku turunkan berbagai egoku. Oh Tuhan, ini sepertinya menyenangkan untuk diceritakan nantinya. Semoga segera bertemu dengan seseorang perempuan yang sesuai dan memulai hal-hal menarik selanjutnya.


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url