Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sosialisme dan OpenSource

 

Open Source
image by www.resourcespace.com

Tulisan ini tidak bertujuan mengharuskan semua orang memakai Linux, hanya keterkaitan saja yang perlu di pelajari. 


Aku berada di sebuah instansi dan kelihatannya satu-satunya yang menggunakan sistem operasi Linux untuk kegiatan sehari-hari. Sedangkan yang lain memakai windows dan ms office (windows dan office berbayar) namun tidak pernah jadi masalah.

Linux adalah sebuah kernel atau lebih dikenal luas sebagai sebuah sistem operasi dengan kode sumber terbuka, lebih familiar disebut "OpenSource".

Tahukah kamu ada berapa sisitem operasi yang bisa diinstal di laptop atau komputer kamu?

Jika jawabannya belum tahu, saya ucapkan bahwa anda telah terjebak dengan merk selama bertahun-tahun.
Pada Linux dan aplikasi dengan kode sumber terbuka lainnya, semua orang dapat berkontribusi untuk mengembangkan program (jika memiliki kemampuan bahasa pemrograman) atau menjadi donatur bagi seseorang atau komunitas yang mengembangkan program tersebut. Seperti yang dilakukan oleh komunitas Gimscape Indonesia beberapa saat yang lalu.

Contohnya jika kamu mengenal seri dari Mac Os sierra, mojave atau Windows XP, Windows 7 dan seterusnya, di Linux kamu akan mengetahui ratusan versi yang dikembangkan oleh pribadi dan komunitas. Misalnya seperti distro (distribusi OS Linux) yang mempunyai banyak pengguna yaitu Ubuntu. 

Atau mungkin kamu akan menemui nama-nama distro lain yang sama sekali baru seperti Linux mint, Red Hat, OpenSuse, Arch, Elementary, atau yang saya gunakan saat ini yaitu Solus Linux. Atau jika belum bisa menangkap yang saya tulis, lihat android yang kamu pakai. Itu salah satu distro Linux.

Jika kita membandingkan Linux, OpenSource dengan sosialisme, maka akan sangat erat hubungannya. Di bawah sosialisme, para pekerja memiliki kontrol langsung terhadap barang-barang produksi, atau tanah, pabrik, dan kantor. 

Begitupun Linux, kenapa versi dari linux bisa sampai ratusan? 
Pertama, ini adalah sumber terbuka. Sehingga komunitas atau perseorangan bisa mendapatkan kode sumber tersebut. Jangan berfikir ukuran berGigaByte, Banyak pengembang yang membuat distro Linux dan mereka memberikannya secara cuma-cuma (gratis).

Dalam sebuah instansi pemerintahan, hal mendasar seperti anggaran pembelian sistim operasi yang hanya bisa digunakan untuk office (pengolah kata, angka, dan presentasi), akan lebih bermanfaat jika anggaran dialokasikan untuk belanja lainnya. Semua orang tidak perlu komputer paling baru jika hanya berurusan dengan program membuat surat-menyurat menggunakan office. Tidak semua pegawai butuh komputer modern.

Karena seharusnya instansi pemerintahan mulai dari tahun 2011 sudah mulai bermigrasi menggunakan OpenSource. Hal ini diperkuat dengan Keputusan Kepala Badan Standarisasi Nasional Nomor 41/BSN/KEP/4/2011 tanggal 4 April 2011, yang telah menetapkan standar dokumen elektronik nasional menggunakan Format Dokumen Terbuka (Open Document Format) yang diberi Nomor Standar Nasional Indonesia SNI ISO/IEC 26300:2011. Dimana para pegawai bisa menggunakan aplikasi seperti LibreOffice (aplikasi free opensource software: foss) untuk membuat dokumen seperti dimaksud.


Dengan begitu anggaran-anggaran kecil dari belanja kebutuhan tersebut dapat dialokasikan ke hal lainnya, misalnya untuk pertanian, pendidikan, kesehatan atau peningakatan ekonomi masyarakat.

FOSS mencegah dari yang namanya monopoli, secara semua orang bisa mendapatkan sumber kodenya. Contohnya yaitu perangkat lunak dokumen OpenOffice. Dahulu, lisensi dan nama OpenOffice dipegang oleh Sun Microsystem. Setelah Sun dibeli oleh Oracle, komunitas-komunitas lain yang tidak setuju dengan kebijakan Oracle, membuat program baru menggunakan sumber kode OpenOffice dan menamakannya LibreOffice. Kemudian OpenOffice pun dikembangkan lagi oleh organisasi nirlaba Apache Foundation dan mengeluarkan versi mereka yang dikenal OpenOffice Apache. Komunitas anda pun bisa menggunakan sumber kode OpenOffice tersebut dan mengeluarkan versi anda sendiri, selama anda memakai lisensi yang sama dengan lisensi OpenOffice.

Yang perlu ditekankan bahwa saya disini bukan seorang anarkis. Namun jika kita berbicara tentang anarkisme bagi saya tidak lepas dari altruisme, begitu juga pada FOSS. Secara teknis semua perangkat lunak yang memakai model FOSS dibuat membutuhkan kemampuan dan waktu. Namun, tetap ada saja orang yang membuat perangkat lunak dengan lisensi FOSS, menyisakan waktunya lebih dari waktu kerjanya, tanpa di bayar, dan kemudian memberikannya secara gratis kepada orang lain. Setiap orang yang waras dan normal pasti akan bertanya, “kenapa?”.

Apa yang sedang terjadi di sini? Apakah ini suatu bentuk murni dari altruisme? Atau suatu bentuk murni pemuasan diri, demi nama? Tidak semua pengembang FOSS menggunakan nama aslinya. Beberapa memakai nama alias. Kalau anda lihat dan tahu lebih dalam, anda akan terkagum-kagum dengan betapa indahnya semua itu bekerja sampai pada tingkatan yang luas. 

Apa yang disebut sebagai utopia bukan lagi utopia, suatu aplikasi anarkisme di dunia nyata sedang terjadi. Anda pasti pernah dengar Wikipedia. Wikipedia sepenuhnya dibangun di bawah perangkat lunak bebas dan terbuka, dan isi dari Wikipedia, yaitu pengetahuan, pun bebas untuk dibaca dan digunakan. 

Sumber: detik inet, anarkis dot org

Posting Komentar untuk "Sosialisme dan OpenSource"