Kontemplasi
Dulu aku ingin punya rumah dengan ruangan yang bisa dipakai untuk membaca buku. Kursi empuk sederhana dengan meja kecil yang diatasnya ada secangkir coklat panas atau kopi. Lalu ketika hujan, aku ingin duduk di dekat jendela sambil membaca buku sambil memakai pakaian hangat. Sesekali melihat hujan yang turun membasahi daun-daun dan pohon di pekarangan. Lalu ngobrol dengan seseorang perempuan yang disebut istri.
Aku juga pernah punya keinginan memiliki sebuah warung kopi sederhana dengan beberapa buku didalamnya. Orang-orang yang datang memesan kopi bisa sambil membaca buku. Atau jika aku pulang dari kerja kemudian mampir, membuat secangkir kopi, mengambil sebuah buku lalu membacanya.
Sebuah keinginan yang kuanggap muluk-muluk saat ini. Kedewasaan menuntut banyak hal, bukan karena pendapat sosial, namun kebutuhan hidup yang bermacam-macam.
Kemudian pekerjaan, nominal saat ini hanya mampu untuk bertahan sebulan jika hidup umumnya orang lain. Untungnya aku makan tidak harus beli, nasi dan lauk sudah ada sejak bangun tidur. Orang tua yang memasakannya. Walau sudah berbulan-bulan sebelumnya aku tidak memberikan uang. Hanya bulan lalu, hasil dari gaji yang tinggal 200 ribu di dompet.
Di usia yang sudah matang untuk menikah dengan seorang perempuan, aku masih pontang-panting dengan ketidakjelasan. Memang aku sedang berjuang untuk satu perempuan, sejak dua tahun lalu. Sekitar tahun 2023 aku mengenalnya melalui media sosial, namun baru akhir-akhir ini aku bertemu dengannya. Pertama di cafe miliknya kedua saat dia mengatakan apakah aku sudah benar-benar mengenalnya.
**
Banyak pertemuan dengan orang-orang memberi gambarakan kepadaku tentang pikiran pikiran yang beragam. Menurutku Farida adalah orang yang benar-benar mampu mengimbangiku cara berfikirku dalam diskusi yang pernah terjadi. Tapi memang ternyata aku belum mengenalnya secara lebih dalam.
Seorang teman pernah berkata padaku, bahwa ideal yang ada dipikiranmu tentang seseorang belum tentu sesuai apa kenyataannya.
Contoh jika seorang menyukai lawan jenis karena dipikirannya dia yang sesuai, belum tentu hal itu benar sampai dia mengetahui secara langsung si lawan jenis itu.
Angan-angan yang dibangun pikiran terkadang menjadikan kecewa jika angan-angan itu tidak sesuai dengan realita, mungkin seperti itu simpelnya.
Seorang teman yang lain di kesempatan lain juga berkata dengan pandangan yang berbeda. Menikahlah, soal rejeki akan datang. Dia memang menikah saat masih bekum bekerja. Saat berkunjung ke rumah calon istrinya dahulu bahkan dia tidak mengetahui wajah istrinya. Setekah menikah dia juga belum bekerja. Sekarang dia sudah jadi PPPK di sebuah lingkungan dinas.
Seseorang yang lain juga berkata begitu. Jika sudah menikah rejeki juga akan datang. Jangan memikirkan bekerja dan mapan dahulu.
Pandangan-pandangan itu memberikan aku banyak kesempatan berfikir. Memberiku banyak pandangan sekaligus motivasi.
Tidak harus punya rumah yang baik sesuai dengan idealku. Tidak harus bekerja atau mapan dahulu. Menikahlah, rejeki memang sudah dijamin.
Kemudian orang tuaku, aku ingin menikah dan berharap mereka tetap harus bahagia. Begitupun orang tua dia, juga harus tetap bahagia.