Memahami Makna, Menyisihkan Ego

Dari satu warung kopi ke warung kopi lain. Kadang sendiri kadang diskusi. Hari-hari se-menyebalkan ini ketika tidak bekerja.

Ya, aku sedang nganggur! Sejak Tiga bulan lalu. Ditambah lagi, kontrak sebagai pejabat publik tingkat kecamatan habis. Begitu pula dengan teman-temanku lainnya yang bernasib serupa.

Yang lain mungkin bisa kembali pada pekerjaan mereka sebelumnya. Sedangkan aku sudah tidak lagi bekerja ditempatku bisanya sejak tahun 2024 lalu. Resign, karena keegoisanku.

Menyesal?

Iya, karena mencari kerja ternyata sesulit itu untuk manusia berusia diatas 25 tahun. Kebanyakan lowongan kerja bersyarat usia. Sepertinya urusan negara untuk menerima pekerja orang tua (usia 26 tahun keatas) melalui lowongan ASN dan PPPK.

Namun disisi lain karena resign, aku juga beruntung. Karena berharap kesempatan baru. Sebagai hamba-NYA yang maha segalanya, untuk apa khawatir? 

Sekarang hari-hari sering berada di warung kopi. Ngobrol dengan teman untuk meminta nasehat dan saling memberi motivasi. Meskipun kadang aku yang terlalu banyak meminta motivasi.

Sekarang rasanya aku bisa menangkap yang mereka katakan. Banyak hal menjadi masuk akal ketika aku mengesampingkan egoku yang dulu aku junjung. Seakan-akan bangga dan akan selalu tercukupi masalah ekonomi.

Berbagai topik obrolan membuka hal yang selama ini seakan tertutup. Membuka realita bahwa ternyata kami juga punya potensi yang dulu digunakan untuk mendapatkan gaji. Lalu kenapa tidak kita gunakan saat ini untuk mendapatkan penghasilan?

Kemudian dari teman lain yang sudah menikah, seakan juga memberikanku pelajaran. Tentang tanggung jawab dan perjuangan, bahwa setelah menikah tentunya akan semakin bertambah kebutuhan. 

Aku juga melihat ada pula teman yang berdikari. Berjuang dengan berdagang untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Hal-hal yang aku tidak pernah melihatnya dahulu sebagai sebuah sikap tegas dan heroik dari teman-temanku ini setelah menikah, sekarang aku baru memperhatikan.

Zona Nyaman

Keangkuhanku mungkin juga sebuah ketakutan. Takut bergerak dari zona nyaman. Bagaimana tidak nyaman, setiap bulan aku selalu mendapatkan penghasilan (salary) seperti seorang pegawai negeri.

Karena ketidaksadaranku tersebut, aku berfikir akan selalu tercukupi dan mampu bertahan ditengah gejolak susahnya orang mencari kerja. Dengan skill yang pas-pasan, merasa akan gampang menemukan pekerjaan ditempat lain. Nyatanya tidak semudah itu.

Dulu pernah temanku bilang bahwa enak kerja disitu. Aku tidak paham maksudnya, hingga saat ini aku sadar kalau menjadi pengangguran tidak enak karena tidak memiliki sumber penghasilan.

Meskipun begitu, sekarang aku juga sadar karena kemudahan itu aku ternyata terjebak di zona nyaman. Menikmati peran sebagai eksekutor. Untungnya tidak terlalu larut. Sehingga sekarang aku mampu mengambil sikap. Menangggalkan ego dan mencoba kesempatan baru.

Manusia tentunya akan bergerak dinamis, menentukan sikap untuk bertahan ditengah arus perubahan dunia.

Karena interaksi dengan hal baru, aku menemukan juga persepsi terkait jeminan terkait ekonomi. Jika nanti sudah memiliki istri tentunya harus menentukan, akan berada dimana istri bekerja untuk menemukan posisi settle.

Nyatanya ketika keluar dari zona nyaman, banyak hal yang selama ini seakan tertutup terbuka begitu saja. Atau mungkin sekarang aku yang lebih telaten melihat kehidupan.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url