Kisah Sularti dan Tukijan (versi Cuy)
Aku bisa menulis artikel ini dengan gembira seperti seorang extrovert, atau sebut saja sanguini yang bisa saja bergembira dengan keriangannya. Namun apakah pernah kalian dengar seorang sanguini yang membahas tentang cinta?
Bagaimana mencintai?
Bahasan soal rasa ini sangat luas. Oleh karena itu, mari kita sempitkan tentang cinta seseorang kepada lawan jenis. Nah aku tahu kalau ngomong soal cinta antara dua anak manusia ini adalah perasaan yang indah. Jika aku bisa membuat puisi, mungkin dalam tiap bait kata akan menggambar kan cintaku padamu, eaaak.
Sayangnya aku nggak bisa membuat puisi. Bakat tidak bisa biasa ini sudah nampak sejak aku sekolah menengah pertama saat tugas membuat puisi dari guruku.
Katanya, perempuan itu jika menyukai seseorang cenderung menggunakan perasaan, maka kesan emosional yang akan lebih dominan. Sedangkan laki-laki dalam urusan cinta pun menggunakan logika, jadi terkesan lebih rasional. Mana yang lebih baik?
Entahlah aku tidak tahu. Itu fitrah yang tidak bisa dijelaskan sepertinya. Namun rasanya setiap orang memiliki pengalaman mencintai lawan jenis dengan cerita yang berbeda-beda. Itu urusan personal, biar setiap mereka menjelaskan sendiri bagaimana sensasinya.
Asalkan tidak sampai mencintai dengan kriminal. Jangan.. jangan sampek.
Sebuah kisah
Bukan kisahku, tapi kisah temanku. Aku rasa kisah ini menarik dan aku berada ditengah cerita meskipun secara tidak langsung. Bisa jadi kisah seperti ini dialami setiap dari kita yang pernah merasakan suka dengan seseorang lawan jenis.
Anggap saja nama perempuan ini adalah Sularti dan laki-laki adalah Tukijan. Kalau aku, sebut saja Cuy.
Tukijan ini adalah temanku seangkatan kuliah. Nah fun fact, aku pernah kuliah hahaha.
Dia sering jadi teman diskusi tentang berbagai hal, dari yang bisa dinalar hingga yang sulit dinalar oleh banyak orang. Salah satu diskusi yang pernah aku jadikan bahan tulisan adalah tentang Membaca Peran dan Nasehat Dari Teman.
Karena dia afalah sarjana yang ada hubungannya dengan psikologi, jadi aku sering berdiksusi terkait kondisi mental dan tentang psikologi. Kadang-kadang juga menertawakan kehidupan kami dan beberapa teman yang bisa dianggap tidak ideal bagi umumnya mertua.
Meskipun begitu, terkadang malah aku yang sering meminta nasehat dan wejangan dari dia. Pemikiranku mungkin liberal karena dulu kuliah bukan basicnya agama, jadi rasanya perlu pencerahan dari orang yang aku anggap paham, salah satunya temanku ini.
Sedangan Sularti, dia satu almamater denganku, baik almamater kampus ataupun organisasi kemahasiswaan. Dia ini adik tingkatku tapi tidak terlalu akrab denganku. Kalau nggak salah, Sularti ini statusnya masih menjadi mahasiswa sampai aku mengetik tulisan ini. Kalau belum wisuda berarti masih mahasiswa kan ya?
Awal mula aku mengetahui kalau Sularti ini punya perasaan dengan Tukijan saat temanku satu kampus yang lain merespon status WhatsApp yang aku upload tentang lamaran Tukijan.
Meskipun gambar yang aku unggah dengan caption "selamat" itu adalah foto yang dihasilkan menggunakan AI. Oleh temanku (sebut saja Gendruwo), fotonya diedit menggunakan dasi dan berpakaian rapi, seolah-olah memang sedang lamaran.
Mulai dari hal itu, aku jadi tahu kalau terkadang si Sularti ini memperhatikan Tukijan secara diam-diam, mengamati story WhatsAppnya. Dan tadi saat aku buka Facebook, story Sularti menampilkan rute jogging kalau nggak salah. Kalau kamu pernah lihat trek jogging dengan aplikasi relive, kamu akan paham yang aku maksud.
Hal ini pas banget, karena beberapa waktu belakangan, Tukijan juga pernah mengunggah foto tracking yang serupa, namun di story WhatsApp.
Aku membuka Facebook ini kok pas story si Sularti muncul di beranda. Sekalian saja aku ingin tahu, apakah benar kalau dia sudah lamaran.
Mari masuk ke bagian yang bikin melankolis
Singkat cerita, Tukijan ini aku beritahu kalau Sularti memperhatikan dirinya. Karena memang Sularti ini suka dengan Tukijan. *alurnya ini maju mundur gak masalah ya.
Kemarin lalu, aku nongkrong di warung kopi dengan Tukijan. Dia mengirim pesan WA ke nomorku kalau mau bertemu dengan teman (terkait kerjaan) di Kecamatan Rengel. Akhirnya setelah Maghrib aku kesana. Sekalian konsultasi dengan pikiran-pikiran ruwet yang mungkin juga ada dalam banyak kepala orang awam.
Singkat cerita, Tukijan bilang kalau mungkin si Sularti ini sudah lamaran. Aku tanya, dia tahu darimana? Apa dari Facebook? Bilangnya iya.
Aku ini kan memang jarang buka Facebook. Akunku saja aku taruh di laptop, agar kalau mau buka facebook juga pas buka laptop. Jadi jika Sularti lamaran aku juga kurang tahu. Hanya sekilas jika storynya muncul di beranda, biasanya aku lihat.
Akhirnya aku konfirmasi dengan temanku yang pernah memberi tahuku bahwa Sularti ini punya perasaan dengan Tukijan. Aku bertanya terkait apa benar si Sularti ini sudah lamaran? Responnya, Sularti memang sudah lamaran. Dijodohkan.
Pas aku buka facebook tadi aku mendapati story sularti yang upload jogging yang khas aplikasi relive tersebut. Aku masuk ke profilenya berharap mendapati postingan foto lamaran. Tapi ternyata tidak ada postingan (foto) lamaran sama sekali.
Sampai tulisan ini dibuat, aku juga belum memberi tahu Tukijan kalau Sularti memang sudah lamaran dan dijodohkan. Biar nanti juga akan tau sendiri, entah melalui postingan ini, atau dengan hal lain.
Mungkin kamu bertanya, Jika Tukijan dan Sularti sama-sama tahu, mengapa mereka tidak langsung berkomunikasi saja?
Puan, seperti yang aku tulis diatas bahwa laki-laki kebanyakan menggunakan logika. Sedangkan perempuan lebih dominan menggunakan perasaan.
Menikah bukan hanya soal cinta, namun juga soal tanggung jawab. Selain itu juga menyatukan dua keluarga. Pernahkan mendengar kutipan "Harga diri laki-laki adalah bekerja" ?
Arti bekerja memang luas, tidak selalu dengan pekerjaan yang bonafide. Tapi apakah kamu tahu, kita hidup ditengah hiruk pikuk keadaan sosial yang masih belajar tentang demokrasi. Keadilan rasanya pasang surut, mengintimidasi setiap relung kehidupan sosial yang semakin tak masuk akal rasanya.
Banyak instansi yang menghendaki seorang pekerja fresh, dengan usia muda dan pengalaman yang sulit digapai oleh kami lulusan sekolah yang ada di kabupaten.
Pernah kala itu aku dan temanku ngobrol, kalau kita sepetinya harus merdeka secara finansial terlebih dahulu untuk ngobrol ndakik soal kehidupan sosial.
Kami memang pernah punya pengalaman terkait bidang sosial di lembaga swadaya masyarakat, sehingga kadang juga berfikir (pendapatku) kalau kita itu mungkin seorang hipokrit (berpura-pura).
Bagaimana tidak, ngomong soal ketahanan sosial, namun ekonomi pribadi saja sekan babak belur dihajar oleh realita. Sehingga konsep bebas finansial ini tercipta dalam obrolan. Ya, kita juga memang open minded, senag dengan diskusi dan diskursus keilmuan yang kadang ditemukan di saluran berbagi video.
Kita juga kan tahu, dunia saat ini sedang dalam era transisi (kalau nggak salah). Mungkin saja akan muncul orang kaya baru dalam kehidupan sosial nantinya.
Sedangkan kami yang mengandalkan sumber daya pikiran mungkin saja akan lebih lambat dengan mereka yang dibarengi dengan sumber daya finansial yang memadai.
Selain itu, kami bukan lagi seorang yang menarik lagi bagi instansi dan perusahaan. Mereka lebih suka dengan manusia-manusia muda maksimal usia 25.
Itulah demokrasi yang terjadi di dunia sosial saat ini. Namun harus diperjelas bahwa peraturan rekrutmen tersebut tidak serta merta tidak adil, melainkan kelayakan yang dibutuhkan oleh perusahaan dan instansi dan sudah dipikirkan secara matang.
Sehingga menurut kami para lelaki, apakah pekerjaan yang belum mapan saat ini mampu dibuat sebagai branding kepada calon mertua?
Secara logis, kebanyakan orang tua ingin anaknya baik-baik saja dengan pria yang punya finansial yang baik. Hal itu pula yang membuat aku perlahan melupakan seseorang perempuan dengan finansial lebih dari cukup. Aku rasa tidak pantas saja berharap terlalu jauh dengan ketidakpantasan tersebut.
Kecuali ada mungkin sebagian dari mereka (calon mertua) yang lebih suka jika punya mantu dengan pikiran diluar nurul seperti ini. Untuk finansial nomor sekian setelah yang penting-penting. Tidak perlu terlalu dipikirkan, realistis saja.
Jadi, laki-laki menggunakan logika untuk bertindak. Sedangkan perempuan menggunakan perasaan. Mungkin saja itu yang disebut saling melengkapi.
Hanya tuhan yang sanggup berkehendak.
Nah, Puan yang lain! Apakah kamu mau minum teh atau teh tarik sachetan untuk ngobrol hal lain yang tidak aku tulis pada postingan ini?